MUTIARA PENAWAR RINDU
Dengan tangan bergetar, aku mengetuk pintu rumah
Bulan. Namun sebelumnya, aku merasakan ada yang aneh dengan rumah ini, tak ada
lagi bunga mawar dan melati yang dulu memenuhi halaman rumah ini. Aku ingat
betul kalau Bulan sangat menyukai mawar dan melati, karena dia yang menawan,
menarik, namun tetap waspada. Dan ia mengidentikkan dirinya dengan melati,
karena dia itu lembut dan penuh kasih sayang, itu menurutku. Namun, di halaman
rumah itu sekarang hanya ada ilalang. Bagian rumah lainnya pun sepertinya tidak
terurus.
“Assalamu’alaikum.
adik Bulan?”, berkali-kali aku mengucapkan salam. Biasanya, dulu, aku langsung
mendengar suara langkahnya setengah berlari sambil menjawab “Wa’alaikumsalam
kak”. Dia bisa langsung tahu siapa yang datang, karena dulu kami sepakat
memanggil satu sama lain dengan panggilan kakak-adik, artinya adik perempuanku.
Namun, tak
ada yang terjadi. Tetap saja sepi.
Kemudian mbah dul, kakeknya Bulan yang pernah aku ceritakan dulu, menghampiriku.
“Oh, nak kukuh ya?”
“njih mbah.”, aku segera mencium tangannya.
“Baru pulang dari Kota bandung ya?, kok pulangnya lama sekali, msti nunggu lebaran tho nak? Km sdh ktmu bapaknya bulan belum?
Kemudian mbah dul, kakeknya Bulan yang pernah aku ceritakan dulu, menghampiriku.
“Oh, nak kukuh ya?”
“njih mbah.”, aku segera mencium tangannya.
“Baru pulang dari Kota bandung ya?, kok pulangnya lama sekali, msti nunggu lebaran tho nak? Km sdh ktmu bapaknya bulan belum?
“dereng,
mbah. saya pengen ketemu sama Bulan. Bulan ke mana ya mbah?. Dari tadi kok gak
ada yang bukain pintu?”
“Oalah, nak, nak. Bulan itu sudah lama pindah dari sini smnjak bapaknya meninggal”, aku seperti tersambar petir.
“simbah gk tw, wong waktu itu Bulan sama ibunya katanya mw ke bekasi.
Aku tidak bisa melihat dengan jelas, pandanganku mulai kabur karena air mata. Dan detik berikutnya, aku sudah tidak sadar apa yang terjadi.
“Oalah, nak, nak. Bulan itu sudah lama pindah dari sini smnjak bapaknya meninggal”, aku seperti tersambar petir.
“simbah gk tw, wong waktu itu Bulan sama ibunya katanya mw ke bekasi.
Aku tidak bisa melihat dengan jelas, pandanganku mulai kabur karena air mata. Dan detik berikutnya, aku sudah tidak sadar apa yang terjadi.
……………..
“torjo.. torjo”, kata seseorang kondektur dengan suara yang keras.
“torjo.. torjo”, kata seseorang kondektur dengan suara yang keras.
Aku terlonjak
kaget, kepalaku pening sekali.
“Bangun mas, sudah sampai Kutoarjo.”, kulihat seorang bapak berseragam membangunkanku.
“Bangun mas, sudah sampai Kutoarjo.”, kulihat seorang bapak berseragam membangunkanku.
Alhamdulillah, ternyata aku hanya mimpi. Mimpi buruk yang semoga saja tidak terjadi. Dengan hati yang benar-benar tidak karuan, aku menuruni bus. Aku berjalan menelusuri timbunan aspal dengan penuh air mata. Di tengah riuh orang-orang dengan berbagai tujuan, samar-samar aku mendengar lagu klasik di telingaku. Aku menutup telingaku, apa aku mulai gila?.
Prosa kecil ini adlh cttn masa lalu, dan aku skrg mengerti
arti mimpi itu.
“kita ibarat dua garis selari, yg tak mgkn brtmu di hujung dunia manapun” (ternyata, cintamu setumpul mata pena itu !!)
“kita ibarat dua garis selari, yg tak mgkn brtmu di hujung dunia manapun” (ternyata, cintamu setumpul mata pena itu !!)
Pikiranku melayang, berputar, kemudian terhenti pada
suatu titik,
Di mana ada langkah-langkah kecil yang harus aku
lalui besok, lusa, dan hari-hari setelah itu. Kalau diingat, perjuangan memang
masih panjang. Masih banyak peluh yang harus dikorbankan, masih banyak air mata
yang harus mengalir dalam setiap harapan, dan masih banyak doa yang harus setia
dipanjatkan…
Asap knalpot yang hitam menusuk hidungku, sebentar
lagi matahari menggelincir, hari akan segera gelap tetapi tugasku belum tunai.
Bumi tua semakin berputar dengan cepatnya. Aku dan orang-orang disekitarku
terengah-engah mengejarnya. Dadaku sesak, ketakutan ini benar-benar membuatku
sedikitpun tidak ingat indahnya dunia ini….
Namun untungnya, semuanya tidaklah berjalan semakin
buruk. Ada orang-orang yang memenuhi hari-hariku dengan semangat. Untung sekali
aku disesaki dengan orang-orang yang selalu ingat dengan TuhanNya. Yang
biasanya mengingatkan aku untuk tertunduk dan mengingat kodratku kembali.
Menengadahkan tangan karena di atas sana ada Tuhan yang setia mendengar suara
hambaNya…
Sayangnya, dalam setiap hembusan nafas ini,
terkadang terselip ragu akan indahnya keputusanMu. Diri ini memang hina,
menyapaMu ketika aku membutuhkan sesuatu. Kemudian pergi ketika bahagia
merasuki diri.
.................................................................................
Offfffffff dulu sekian wktu.. jd gk karuan nulisnya,
mw nulis.. tinta otak hampir habis. Waktu terkikis habis.. udah dulu, ngaso
dulu, tdur dulu. Besok mesti kaburrr… huaaaaahhheemmzzz, antuk !

Tidak ada komentar:
Posting Komentar